Kata pepatah “tak kenal maka tak sayang”, apa benar ?. Alhamdulillah, kami menikah tak saling kenal, tak pernah bertemu, meski kami masih hubungan keluarga (sepupu 2x), saya yang beraktifitas di Kota Makassar, sedangkan Dia di Palopo, salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan.
Kami menikah sebulan setelah Dia yakin akan pilihannya, Dia berprofesi sebagai Polisi, yang aktif dibidang kerohanian, menjalankan tugas2 yang disinkronkan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan atau biasa disebut dengan “polisi santri”. Aku saat itu berstatus dosen baru di Universitas Muhammadiyah Makassar.
Saat kudengar kabar dari mama, bahwa dia ada niat tuk menikah denganku, aku berkata, beri aku waktu 3 hari tuk istikhoroh, dalam proses istikhoroh berbagai macam syarat kulontarkan agar pernikahan kami gagal, mulai penerimaan syari’at cadar yang kugunakan, proses walimah yang syar’i (pisah antara laki2 dan perempuan), tidak merokok, bukannya gagal, malah pengurusan semakin lancar. Dimana, dia menerima semua persyaratannya, dan diapun sudah tidak merokok lg.
Hingga pada hari ke-2 masa istikhoroh, mama nelpon, bertanya tentang keputusanku, apakah iya atau tidak. Dengan pasrah aku menjawab, Insyaa Alloh. Dan kamipun mengurus segala berkas administrasi tuk sidang dipolres, dan beberapa berkas nikah lainnya.
Pada proses pengurusan berkas, saya masih berharap ada celah tuk tidak lanjut ketahap pernikahan, dan sayapun mengajukan syarat lagi bahwa jika pada saat sidang, saya harus membuka cadar, maka saya akan pergi meninggalkan ruangan sidang, dan beliau jawab, insya Alloh tidak akan dibuka, lagi dan lagi gagal syaratnya.
Kamis, 7 Januari 2016 adalah hari pertama dia melihat wajahku setelah akad nikah, berdebar yah tentu, saya sangat degdegan ketika ia selesai mengucapkan ikrar itu, dan dipersilahkan memasuki kamar tuk menjemput sang istri, kini status istrinya sudah kusandang.
Entah apa yang ia pikirkan saat melihatku pertama kalinya, dia belum pernah menatapku secara langsung sebelum akad nikah, hanya foto yang sempat ia lihat, berbeda denganku yang memiliki kesempatan tuk melihatnya ketika dilaksanakan sidang dikantornya.
“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)
Ayat diatas adalah salah satu ayat yang meyakinkanku tuk menerimanya, saya yakin bahwa yang menjodohkan kami bukan karena orangtua, bukan karena keluarga tapi karena Allah.
Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi).
Dan Hadits diatas juga yang membuatku takut jika harus menolaknya, 😁, dimana pada saat itu saya mendengar bahwa dia rajin sholat 5 waktu di Masjid, aktif dibidang agama sebagai seorang da’i, mencari wanita yang bercadar, akhalaknya kepada keluarga baik, sayang kepada keluarga. Dan sayapun pernah bercita-cita ingin memiliki suami seorang da’i, aktif sebagai pegawai Allah Azza Wa Jalla, pewaris Rasulullah Sholallahu ‘alaihi Wa Sallam, dan seorang lelaki yang berani meminang langsung kepada keluarga.
Dan kelak, dengan gagah berani kami bisa meyakinkan kepada anak-anak kami bahwa dalam sebuah pernikahan, mencari calon pasangan tidak dengan pacaran, pedekate, ttm, de el el. Tapi yakin pada Allah, kuatkan do’a, amalan, jadikan diri menjadi lebih sholih/sholihah agar mendapat pasangan yang sholih/sholihah pula.
Kalau emang sudah jodoh menghindar seribu kalipun ngak bakal batal, kalau bukan jodoh diurus seribu kalipun kalau Allah tidak berkehendak, tidak akan pernah terjadi. 😊
Semoga keluarga kami selalu sakinah, mawaddah, warohmah, melahirkan generasi yang kuat iman dan amal, hafidz/hafidzoh, da’i/da’yah, ‘alim/’alimah. Aamiin ya Robbal ‘alamin.
Sekian dan terima kasih, sambil senyam senyum ketik tulisan ini.
Palopo, 06 September 2019